
Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, sering disebut kota pahlawan, kota panas, kota kerja keras, atau dalam versi orang Jakarta: “kayak Jakarta, tapi lebih murah dan lebih galak.”
Tapi ada satu hal menarik: orang sering menulis Surabaya, menyebut Surabaya, bahkan menyisipkan nama itu di puisi atau lirik lagu. Tapi apakah mereka benar-benar tahu apa (dan siapa) yang mereka tulis?
Coba cek caption di Instagram:
“Senja di Surabaya, tapi hati masih Jogja.”
Atau: “Surabaya vibes, tapi minus kemacetan.”
Lah, Surabaya yang mana ini?
—
Menulis Surabaya seolah jadi semacam statement: kalau kamu menyebut kota ini, kamu seperti ingin bilang, “aku pernah hidup keras.” Padahal yang kamu maksud “hidup keras” itu cuma karena jalanan di Margorejo macet, atau kaget harga seblak di G-Walk.
Surabaya sering dipakai sebagai latar. Tapi jarang jadi cerita utama. Banyak penulis datang ke kota ini, tinggal seminggu, lalu pulang dan bikin cerpen berjudul “Sore Terakhir di Surabaya”. Isinya: kopi, hujan, dan seseorang yang hilang.
Padahal, di Surabaya, kopi itu pahit, hujan itu langka, dan yang sering hilang justru motor.
Kota ini sering dicap keras, kasar, dan penuh umpatan. Tapi keras buat siapa? Kasar dari sisi mana?
Orang Surabaya mungkin ngomongnya meledak-ledak, tapi kalau sudah kenal, mereka yang paling tanggap bantuin orang nyasar.
Kalau kamu jatuh dari motor, yang pertama turun nolong bukan polisi, tapi mas-mas tambal ban.
Coba jatuh di tempat lain, bisa-bisa cuma masuk FYP TikTok.
—
Masalahnya, banyak yang cuma tahu Surabaya dari footage drone dan font Helvetica di opening video YouTube. Padahal Surabaya itu lebih dari itu.
Dia kota yang dibangun dari pelabuhan, pasar, dan lapak kecil yang tahan panas.
Kota yang penuh warung kopi jam 1 pagi, di mana orang diskusi politik nasional sambil makan tahu petis.
Tapi, kota ini jarang ditulis dari dalam. Kebanyakan dari luar.
Ditulis seperti taman kota: indah, tapi steril.
Padahal Surabaya itu taman yang kadang penuh debu, tapi juga suara: orang jualan, orang marah, dan orang hidup.
—
Menulis Surabaya harusnya bukan sekadar menyebut nama kota yang keras dan panas. Tapi tentang menulis denyutnya, isinya, warganya yang kalau marah nyolot, tapi kalau kangen, bisa seumur hidup.
Karena Surabaya itu bukan sekadar kota.
Dia gaya bicara.
Dia cara hidup.
Dan kadang, dia cuma ingin dikenal, bukan sekadar disebut.