Surabaya sempat dipercaya sebagai kota yang relatif aman untuk menyimpan kendaraan. Namun, kenyataan terkini menunjukkan sebaliknya: garasi rumah bisa berubah menjadi undangan bagi pelaku curanmor tanpa nama. Pagi itu, seorang pemilik motor terkejut saat hendak berangkat kerja; motornya yang sehari-hari terparkir di halaman, tiba-tiba raib digasak dalam kelamnya malam. Meski kunci setang sudah dikunci ganda, fakta membuktikan pelaku tinggal menunggu celah kecil, seperti semut yang merambat masuk ke retak makanan manis.
Data resmi Polrestabes Surabaya menegaskan keresahan ini: sepanjang tahun 2024, jumlah kasus pencurian kendaraan bermotor di wilayah ini mencapai 444 kasus, turun sekitar 12 persen dari 544 kasus pada 2023. Namun angka 444 bukanlah pencapaian besar—karena di balik angka tersebut, tercatat 425 kasus berhasil diungkap dan 315 tersangka dilimpahkan ke proses hukum . Dengan kata lain, meski ada penurunan, ratusan sepeda motor masih raib setiap tahun.
Memasuki paruh pertama 2025, ancaman curanmor justru kian membesar. Dari Januari hingga Mei 2025, Polrestabes Surabaya telah mencatat 251 kasus curanmor, dengan 226 tersangka ditangkap—artinya, rata-rata satu pekan ada 10 pelaku yang berhasil diungkap, tetapi masih banyak yang lolos . Data ini seolah menjadi bumerang: di satu sisi, aparat kepolisian giat melakukan penindakan, namun di sisi lain, laju kasus belum signifikan melambat.
Kecemasan berlanjut ketika laporan Radio Suara Surabaya membeberkan bahwa dari Maret hingga Mei 2025, ada 529 sepeda motor yang dilaporkan hilang di wilayah Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik). Rinciannya, 141 unit hilang pada Maret, melonjak 37,5 persen menjadi 194 unit pada April, lalu bertahan di 194 unit pada Mei . Artinya, hampir lima motor lenyap setiap hari hanya dalam satu kawasan, membuat warga terjaga waspada hingga subuh.
Lebih mengkhawatirkan, pencurian kendaraan pada siang hari juga mencatat tren peningkatan: dari 20 motor yang dicuri pada Maret menjadi 37 motor pada Mei 2025 . Lalu-lintas siang hari—seharusnya lebih aman—ternyata tak membuat pelaku gentar. Mereka masuk seolah “setan siang bolong”, mengambil motor dengan kunci yang masih tergantung di pintu toko atau halaman rumah yang dianggap “aman”.
Dari sisi lokasi, hampir 37–39 persen kejadian curanmor terjadi di halaman rumah atau kos-kosan, tempat yang semestinya menjadi benteng pertama bagi pemilik motor . Sisanya, antara 14,9–17,7 persen terjadi di warung, kafe, atau toko. Bayangkan, ketika pemilik hendak menikmati secarik kopi pagi, kendaraan yang baru saja diantar untuk diparkir di depan warung bisa langsung digondol, seakan lapak kopi itu berubah menjadi panggung aksi pelaku.
Modus operandi para “pencuri dadakan” pun kerap terjadi tanpa persiapan: mereka hanya butuh melihat kunci yang still tergantung di motor, lalu ambil dan kabur . Pelaku-pelaku ini bergerak spontan, bagai lalat yang mendekati makanan manis; sekali melihat celah, mereka langsung menyerbu tanpa ragu.
Lebih jauh, hasil investigasi kepolisian mengungkap bahwa 80,4 persen motor hasil curanmor di Surabaya pada 2025 ini justru dilarikan ke Pulau Madura. Daerah lain yang menjadi “jalur pelarian” adalah Gresik, Pasuruan, dan Tapal Kuda di Jawa Timur, meski porsinya jauh lebih kecil. Agaknya, motor hasil curian itu diperlakukan bak “komoditas ekspor” gelap, diangkut ke luar kota agar sulit dilacak .
Menanggapi kondisi tersebut, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi hadir dengan program “portal” di gang-gang sempit dan penempatan petugas keamanan tingkat RW. Portal—yang diharapkan menutup celah masuk pelaku—didesain agar bisa dinaik-turunkan sesuai situasi, sekaligus dilengkapi lampu sensor gerak agar tak hanya jadi “patung beton” di malam hari . Di tiap RW, satu petugas keamanan (gabungan antara Satpol PP dan Linmas) diinstruksikan berjaga malam, membentuk semacam “pos ronda modern” yang siaga melaporkan hal mencurigakan lewat aplikasi khusus.
Namun, gagasan portal dan petugas RW ini belum tentu menambal lubang besar di tembok keamanan. Jika satu portal terlalu tinggi, warga kesulitan keluar-masuk; jika terlalu rendah, pelaku mudah melompati. Sebagai perbandingan, portal perlu diibaratkan seperti pagar rumah di perumahan elite—jika terlalu rapat, penghuni sendiri yang stres saat kebakaran; jika terlalu renggang, maling tinggal seluncur. Belum lagi, ketergantungan pada “laporan warga” lewat aplikasi bisa menjadi bumerang jika respon aparat lamban: satu laporan butuh hitungan detik untuk pelaku kabur puluhan kilometer.
Pada Rabu, 4 Juni 2025, Polda Jawa Timur dalam FGD Suara Surabaya menyebut banyaknya pelaku curanmor dadakan—mereka tak tergabung jaringan, tapi memanfaatkan peluang. Salah satu pelaku dadakan bahkan tertangkap saat berniat menagih utang di Sidoarjo; gagal bertemu, ia hanya melihat motor terparkir di apotek dengan kunci tergantung lalu langsung mencuri—moderna, instan, dan sering tak terduga.
Secara garis besar, dari Januari hingga Mei 2025, kepolisian sudah menangani 251 kasus curanmor dengan 226 tersangka diamankan . Namun, jumlah itu belum sebanding dengan kendaraan yang hilang: belasan hingga puluhan motor setiap harinya. Artinya, setiap kali satu pelaku tertangkap, setidaknya satu atau dua motor lagi raib sebelum aparat menyisir lokasi berikutnya.
Bagaimana agar upaya penindakan dan pencegahan bisa benar-benar efektif? Sudah jelas bahwa hanya menggantung portal dan sibuk membuat jadwal ronda saja tidak cukup. Surabaya perlu memperkuat penerangan publik di setiap gang; menambah kamera CCTV yang terintegrasi langsung dengan pos polisi terdekat; serta memastikan patroli motor “tak cuma lewat” tetapi memberi sinyal kehadiran di titik rawan. Jangan sampai, polisi hanya dianggap bagai “lampu strobo” yang terlihat di rapat pers, tapi tak terasa di lapangan.
Lebih jauh lagi, kesadaran warga harus dibangun: memakai kunci ganda kian wajib, menyusun pola pikir bahwa sepeda motor bukan sekadar alat transportasi, tetapi investasi yang butuh proteksi maksimal. Jika warga masih abai, maka piranti sekecil apa pun—portal, CCTV, atau patroli— akan sulit menahan gelombang curanmor.
Ketika malam merangkak dan lampu-lampu gang menyala redup, para pemilik motor seolah menunggu mata-mata digital: satu aplikasi pelaporan, satu jalan akses portal, satu perangkat sensor. Namun, jika sistemnya hanya formalitas belaka—tidak diikuti respon cepat dan investigasi tuntas—maka rumah yang semula menjadi benteng, tetap akan bocor. Karena di balik nada sirine polisi dan gemerlap lampu LED portal, curanmor di Surabaya masih bergerak bak bayangan: selalu ada, tak pernah lelah, dan terus mencari celah berikutnya.