
Selamat, 17 Oktober Sah Sebagai Hari Kebudayaan Nasional, Berketepatan dengan Harlah Presiden Prabowo
Jakarta, 15 Juli 2025 — Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN) oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai sorotan publik seperti dari kalangan budayawan. Meski memiliki dasar historis, penetapan tersebut dianggap mengandung muatan simbolik yang sarat politis.
Fadli Zon menjelaskan bahwa tanggal 17 Oktober dipilih berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, di mana Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman secara resmi menetapkan Garuda Pancasila dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai simbol negara. Ia menyebut momen tersebut sebagai tonggak penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia.
“Penetapan simbol negara adalah peristiwa budaya yang merefleksikan identitas dan nilai luhur bangsa. Maka sangat tepat jika kita memperingatinya sebagai Hari Kebudayaan Nasional,” kata Fadli dalam konferensi pers, Senin (8/7).
Namun, penetapan itu langsung memicu polemik lantaran bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Prabowo Subianto. Sejumlah pihak menilai pemilihan tanggal ini menimbulkan kesan politis dan kurang melalui proses partisipatif.
—
Kritik dari Kalangan Budayawan
Seniman teater dan budayawan Butet Kartaredjasa mengkritik keputusan tersebut. Ia menilai penetapan HKN tidak memiliki urgensi nyata dan dilakukan tanpa diskusi luas dengan pelaku budaya di seluruh Indonesia.
“Tanpa Hari Kebudayaan pun, para seniman tetap berkarya. Yang lebih penting adalah komitmen pemerintah pada pengembangan kebudayaan secara konkret,” ujar Butet.
Ia juga menyebut adanya kesan bahwa tanggal 17 Oktober dipilih demi “menyenangkan kekuasaan”. Ia menyoroti absennya konsultasi publik dan lemahnya kajian historis yang lebih inklusif.
—
Reaksi Politik
Sejumlah anggota DPR dari Komisi X menyatakan belum pernah diajak berdiskusi terkait rencana penetapan HKN tersebut. Ketua Komisi X DPR, MY Esti Wijayati (PDIP), menyebut belum ada pembahasan formal antara legislatif dan kementerian.
Di sisi lain, PDIP menyatakan bahwa pemilihan tanggal yang bertepatan dengan ulang tahun Presiden hanyalah kebetulan dan meminta publik untuk melihat esensi peringatan budaya, bukan sekadar polemik tanggal.
—
Hari Kebudayaan Tanpa Arah?
Pengamat kebudayaan dari Universitas Indonesia, Dr. Retno Wahyuni, menilai bahwa penetapan Hari Kebudayaan semestinya dilandasi oleh kajian akademik dan partisipasi lintas sektor.
“Kebijakan budaya tidak boleh jadi alat politik simbolik. Ia harus melibatkan pelaku budaya dari akar rumput,” kata Retno.
Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada pendanaan kesenian, perlindungan warisan budaya, dan pendidikan kebudayaan di sekolah, ketimbang hanya menetapkan hari peringatan.
Pada akhirnya
Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional tampaknya belum menjadi konsensus nasional. Di tengah maksud baik untuk merayakan jati diri bangsa, langkah ini justru mengundang pertanyaan soal motivasi dan prosesnya. Tanpa dialog yang inklusif, kebijakan budaya berisiko kehilangan makna dan menjadi simbol kosong.
—
Sumber: Tempo, Detik, Kompas, Eramuslim, Kementerian Kebudayaan
—