
Stigma terhadap aparat kepolisian di Indonesia bukan hal baru. Setiap kali ada kasus pelanggaran etik, pemerasan, atau kekerasan berlebihan oleh oknum polisi, publik bereaksi keras—dan wajar. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi ini tumbuh dari sejarah panjang relasi kuasa yang timpang, penyalahgunaan wewenang, hingga impunitas yang kerap terjadi.
Namun, dalam upaya membongkar dan membenahi wajah kepolisian, kita juga perlu jujur pada satu fakta: Polisi bukan hanya cerita tentang penyimpangan. Polisi juga menyimpan kisah tentang pengabdian.
Di lapangan, polisi adalah garda depan dalam menjaga ketertiban masyarakat. Mereka hadir dalam operasi bencana, mengatur lalu lintas di tengah arus mudik, mengamankan demonstrasi besar, hingga membongkar sindikat kejahatan terorganisasi. Tidak sedikit dari mereka yang gugur dalam tugas, terluka di medan konflik, atau bekerja dalam tekanan psikis yang tidak terlihat di balik seragam cokelat.
Dalam laporan tahunan Kepolisian Republik Indonesia, tercatat lebih dari 3.500 personel menerima penghargaan atas dedikasi mereka di bidang pelayanan publik, keamanan wilayah rawan, dan penanganan kasus berat. Ini tentu bukan angka yang bisa dikesampingkan.
Sayangnya, narasi tentang polisi baik sering kalah cepat dan kalah menarik dibanding narasi negatif yang lebih mudah viral. Publik—yang kecewa oleh segelintir—sering menyamaratakan seluruh institusi. Satu salah, semua salah. Ini bukan hanya simplifikasi berlebihan, tapi juga merugikan proses reformasi yang membutuhkan dukungan dari dalam dan luar institusi.
Kritik tetap penting, bahkan sangat diperlukan. Tapi ia harus dibarengi dengan dorongan yang proporsional—sebuah ruang apresiasi bagi anggota kepolisian yang bekerja dengan jujur, profesional, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Mereformasi institusi besar seperti Polri tidak cukup hanya dengan menyoroti sisi gelapnya. Kita juga perlu memberi ruang terang—tempat bagi harapan tumbuh, bagi dedikasi mendapat tempat, dan bagi publik melihat bahwa tidak semua polisi adalah masalah.
Di antara stigma yang terus bergema, jasa polisi tetap nyata. Dan dalam masyarakat demokratis, keadilan bukan hanya soal siapa yang dihukum, tapi juga siapa yang layak dihargai.
Selamat Hari Bhayangkara ke-79. Untuk para polisi yang terus mengabdi dalam diam, negara dan masyarakat tak pernah benar-benar lupa.
—