
Di negeri ini, kita punya segudang gelar—tapi tak satupun panggilan kerja. Tiap tahun, perguruan tinggi melahirkan jutaan sarjana yang disambut bukan dengan pekerjaan, tapi dengan barisan email penolakan, job fair kosong, dan nasihat toxic dari paman: “Waktu Bapak dulu, cari kerja gampang!”
Tentu saja gampang, Pak. Karena waktu Bapak dulu, belum ada LinkedIn. Belum ada syarat “usia maksimal 23 tahun, pengalaman minimal 5 tahun, jago Excel, dan mau dibayar pakai ucapan terima kasih.”
—
Kita Kuliah Apa, Kerja di Mana?
Mismatch kompetensi itu istilah keren dari kenyataan pahit: kuliah belajar A, kerja dicari B. Sarjana Ilmu Perpustakaan disuruh mahir digital marketing. Lulusan Antropologi ditanya soal SQL dan Google Ads. Anak Sastra Jepang diminta bisa desain UI/UX. Lah, bukan kita yang salah jurusan. Dunia kerjanya aja yang kelewat fleksibel—terlalu bebas, bahkan dari logika.
Kampus masih sibuk ngajarin teori abad 20, sedangkan industri butuh anak-anak yang ngerti cloud computing, data analytics, dan AI. Tapi mahasiswa malah disuruh bikin makalah 20 halaman tentang teori Maslow, pakai footnote gaya Chicago.
—
Indonesia: Surga Gelar, Neraka Keterampilan
Negeri ini sayangnya lebih menghargai gelar daripada keahlian. Maka jangan heran kalau banyak yang kuliah cuma demi tiga huruf di belakang nama. Tapi setelah wisuda, mereka bingung: gelar sudah dapat, tapi kerja belum juga datang. Yang datang justru pinjol, cicilan wisuda, dan pertanyaan basa-basi tiap lebaran: “Sudah kerja di mana sekarang?”
Dan seperti biasa, jawaban andalan kita: “Masih proses.” (Padahal prosesnya sudah kayak drama Korea: panjang, rumit, dan tidak jelas ending-nya.)
—
Salah Siapa?
Tentu bukan salah mahasiswa. Mereka belajar sesuai jalur. Salah kampus? Mungkin. Salah sistem? Mungkin banget. Tapi yang paling sering salah justru lowongan kerja yang absurd itu: butuh sarjana komunikasi, tapi minta bisa coding. Butuh admin, tapi harus “good looking”. Maaf, ini mau cari karyawan atau talent FTV?
—
Solusinya?
Link and match antara dunia kampus dan dunia kerja bukan cuma jargon di seminar. Harusnya itu jadi blueprint nasional. Kalau industri butuh orang melek digital, ya kampus jangan cuma kasih teori. Kalau dunia kerja butuh orang tangguh, ya jangan buat kurikulum yang isinya ngafalin slide dosen.
Biar kampus nggak cuma jadi pabrik ijazah, dan dunia kerja nggak jadi arena gladiator buat fresh graduate.
—
Sarjana Butuh Pekerjaan, Bukan Motivasi
Kami para sarjana tidak butuh kata-kata mutiara di Instagram reels. Kami butuh pekerjaan. Bukan disuruh “jangan menyerah” atau “tetap semangat”. Apalagi dikasih quotes Mario Teguh sambil disuruh freelance jual asuransi.
Mismatch kompetensi bukan hanya masalah angka—tapi luka kolektif generasi muda yang tumbuh dengan mimpi, lalu disambut oleh realita yang bilang: “Maaf, kamu overqualified untuk jadi kasir, tapi underqualified untuk jadi manajer.”
Lalu, kami harus ke mana?
Mungkin ke luar negeri.
Atau ke TikTok.
Minimal, bisa viral dulu sebelum benar-benar menganggur.
—