
Dunia bergerak cepat, secepat jari-jemari kita menggeser layar. Di tengah arus informasi yang begitu deras, satu hal pelan-pelan menghilang tanpa banyak yang sadar: kebiasaan membaca. Bukan hanya membaca buku atau berita, tapi bahkan membaca hal-hal sederhana seperti tutorial, petunjuk, atau instruksi. Kini, orang lebih suka melihat. Video, gambar, reels, shorts, semua disajikan dalam bentuk visual yang cepat, instan, tanpa perlu berpikir panjang.
Dulu, sebelum memulai sesuatu, orang akan membaca: manual penggunaan, tutorial tertulis, atau artikel panduan. Dengan membaca, mereka tidak hanya memahami langkah demi langkah, tapi juga menangkap logika dan struktur di baliknya. Ada proses berpikir, ada pemahaman yang tumbuh. Kini? Cukup buka YouTube, TikTok, atau Instagram. Tinggal tonton, tiru, selesai. Tidak ada ruang untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika”.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak yang tidak sadar bahwa algoritma-lah yang mengarahkan apa yang mereka lihat. Seolah-olah semua konten itu sahih, akurat, dan sesuai kebutuhan. Padahal, isi dari video-video itu bisa sangat berbeda dengan realitas, bisa menyesatkan, atau sekadar mengikuti tren viral tanpa dasar yang kuat.
Ibaratnya, orang belajar masak bukan lagi dari buku resep, tapi sekadar menonton video berdurasi satu menit. Mereka lihat bahan dilempar ke wajan, api menyala, makanan jadi. Tanpa tahu takaran, tanpa mengerti proses, tanpa memahami kenapa langkah itu harus dilakukan. Begitu masakan gagal, mereka bingung. Begitu video berikutnya berbeda langkahnya, mereka tambah bingung.
Fenomena ini bukan cuma soal cara belajar, tapi soal pola pikir. Tanpa membaca, tanpa proses menyusun kata dan makna, pikiran kita jadi malas bertanya. Kita terbiasa menerima apa yang disajikan, tidak kritis, tidak skeptis. Kalau algoritma berhenti, kalau teknologi lumpuh, kita seperti kehilangan kompas. Tumpul. Bingung harus mulai dari mana.
Di tengah dominasi visual dan algoritma yang menentukan arah pandang kita, tulisan adalah senjata terakhir. Dengan membaca dan menulis, kita memegang kendali penuh atas pikiran kita sendiri. Kita diajak berhenti sejenak, meresapi makna, membedah informasi, dan tidak hanya menjadi konsumen pasif.
Karena itu, jangan biarkan rasa dalam tulisan hilang, seperti makanan tanpa bumbu. Jangan biarkan pikiran kita dimanjakan oleh kenyamanan visual tanpa dasar logika. Di balik setiap kata yang kita rangkai dan resapi, ada kekuatan untuk tetap tajam, tetap berpikir, dan tetap menjadi manusia yang sadar, bukan sekadar penonton algoritma.
Sebab, ketika layar mati, kata-kata adalah cahaya terakhir.