Di balik sunyinya malam di Desa Driyorejo, wilayah pinggiran Gresik, Polres setempat gegas melakukan aksi ketat yang mencuri perhatian publik. Pada 12 Juni lalu, tim Satresnarkoba Polres Gresik berhasil menangkap dua pemuda asal Sidoarjo—MAAA (23) dan TY alias Gosong (28)—yang tengah melakukan transaksi sabu belakang Balai Desa. Temuan awal hanya 0,152 gram, namun pengembangan kemudian menguak lebih dalam: petugas menemukan 21 klip sabu lagi seberat total 19,174 gram di salah satu rumah tersangka.
Temuan ini bukan semata operasi kecil, melainkan titik temu antara aparat dan masyarakat yang saling aktif. Warga setempat yang awalnya melaporkan gerak-gerik mencurigakan jadi penyulut temuan krusial. Di tangan tersangka juga ditemukan alat isap, timbangan elektrik, dua ponsel, Rp1,5 juta tunai, dan satu unit motor tanpa surat resmi—bukti nyata bahwa kasus ini lebih kompleks dari perkiraan awal.
Keterlibatan MAAA dan TY tidak berhenti sebagai pengedar pinggiran. Menurut polisi, mereka dipantau melayani jaringan yang lebih luas—dengan bandar utama yang disebut sebagai “DPO”. Ini bukan jaringan iseng; kasusnya masuk kategori pasal berat soal narkotika yang mengancam bebas lebih dari lima tahun.
Sejatinya, pesan Polres Gresik melalui kasus ini jelas: desa tak lagi zona aman. Gerakan aparat cepat setelah mendapat laporan menunjukkan bahwa pendekatan penegakan hukum berbasis komunitas bisa efektif. Tapi operasi saja tak cukup—ini juga soal membangun kemauan, kesadaran warga, dan pengawasan struktural. Kalau diketahui hanya dari laporan warga, berarti aparat berhasil mengolah intelijen lokal sebagai strategi nyata.
Namun, dua penangkapan bukan akhir. Polisi menyebut masih berupaya menangkap sang bandar. Artinya, siapapun yang melihat sabu di lingkungan sekitar—entah di jalanan, gang, atau rumah warga—harus bertindak. Lapor. Karena di manapun, perang melawan narkoba baru bisa menang jika masyarakat ikut turun tangan.
Di tengah persaingan antara hidup bersih dan jebakan ilegal, Gresik sedang menyaksikan dua kekuatan bertemu: warga yang tak rela lingkungan mereka dikotori jaringan terstruktur, dan aparat hukum yang terbukti mampu merespons cepat. Momentum ini harus dibarengi dengan pendidikan anti-narkoba hingga tingkat RT/RW, serta jaring pengamanan sosial agar pemuda tak mudah direkrut sebagai kurir atau pengguna.
Karena jika tatanan masyarakat hanya menunggu aparat bertindak, maka perang sosial melawan narkoba akan lama usai — dan kerusakan akan lebih dalam daripada kutipan di laporan polisi.