
Foto: Dr Suko Widodo - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga
SURABAYA — Langkah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menghadirkan konten berbasis artificial intelligence (AI) di kanal media sosial, termasuk dalam PoliceTube—platform digital mirip YouTube yang dikelola Polri—belakangan justru menuai kritik lebih banyak daripada pujian. Alih-alih menjadi alat mendekatkan diri pada masyarakat, video-video bergaya sinematik dengan tokoh polisi bak pahlawan itu dinilai sebagian publik hanya memperlebar jurang antara citra ideal dan realitas di lapangan.
Video AI Polri yang beredar memperlihatkan sosok polisi seolah hadir sebagai penyelamat di setiap persoalan masyarakat, lengkap dengan narasi heroik, visual megah, dan animasi yang rapi. Namun, di balik upaya itu, muncul pertanyaan tajam: apakah citra itu relevan dengan pengalaman masyarakat sehari-hari?
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Dr. Suko Widodo, menilai langkah ini sebagai strategi komunikasi yang kurang peka terhadap konteks sosial. “Polisi terlalu memaksa diri dan kurang realistis dalam membentuk imajinasi di mata publik lewat AI. Padahal AI itu rentan menjadi bumerang kalau tak dibarengi dengan komunikasi dua arah dan transparansi,” ujar Suko.
Ia menjelaskan, di era digital saat ini, publik bukan hanya penonton pasif. Masyarakat menginginkan dialog, keterlibatan, serta data yang nyata dan dapat diverifikasi. Suko mengingatkan, membangun kepercayaan publik bukan hanya soal visual canggih, tapi konsistensi pesan dan kesesuaian antara citra dengan fakta di lapangan. “Masyarakat itu cerdas. Mereka akan membandingkan apa yang ditonton dengan pengalaman langsung mereka. Kalau terlalu jauh jaraknya, ya AI itu gampang sekali dihantam kritik,” tambahnya.
Fenomena ini memunculkan satu masalah krusial: kurangnya integrasi strategi komunikasi dengan dinamika sosial. PoliceTube dan video AI Polri seakan lupa bahwa di balik citra digital, ada realitas yang tidak bisa disulap oleh algoritma. Data laporan pengaduan masyarakat, penanganan kasus yang mandek, hingga kekerasan oleh oknum, menjadi bayang-bayang yang terus menghantui kredibilitas konten-konten tersebut.
Menurut Suko, solusi tidak cukup sekadar memperindah tampilan. “Polri harus membuka ruang partisipasi, seperti forum daring atau virtual town hall, agar masyarakat merasa didengar. Data penanganan kasus, statistik kejahatan, prosedur pengaduan, harus terbuka dan diperbarui secara real time. Bukan hanya tampil gagah di video,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menegaskan perlunya tim riset khusus di tubuh Polri yang mengombinasikan keahlian komunikasi, data science, psikologi sosial, hingga analisis jejaring (social network analysis). Tujuannya jelas: memetakan opini publik, mendeteksi hoaks, dan menyusun strategi respons yang tepat.
Sayangnya, hingga kini pendekatan komunikasi Polri masih terjebak pada upaya membangun citra, bukan membangun substansi hubungan dengan publik. Fenomena PoliceTube dan video AI hanya salah satu contoh dari ketimpangan tersebut. Harapan publik kini sederhana: bukan sekadar visual yang memukau, tapi tindakan nyata yang dirasakan langsung di masyarakat.