
“Saya tidak tahu apa-apa soal e-KTP,” ujar Setya Novanto kala itu. Tapi sejarah membuktikan sebaliknya.
Sudah lebih dari tujuh tahun berlalu sejak publik dikejutkan oleh drama “papa minta saham”, mobil menabrak tiang listrik, hingga jeratan kasus mega-korupsi e-KTP. Namun kisah Setya Novanto belum benar-benar tamat. Di tengah perhatian yang mulai surut, Mahkamah Agung (MA) tiba-tiba membuat gebrakan: menghukum lebih ringan sang mantan Ketua DPR RI.
Pada 4 Juni 2025, MA secara resmi mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Novanto. Vonis penjara dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan, alias diskon 2,5 tahun. Di negara dengan sejarah hitam korupsi seperti Indonesia, putusan ini bukan sekadar angka—melainkan sinyal, dan bisa jadi alarm.
PK yang Tertunda: 1.956 Hari Menunggu Jawaban
PK bukan perkara baru. Setnov mengajukan PK pada 6 Januari 2020. Namun putusan baru diketok setelah 5 tahun 5 bulan atau 1.956 hari kemudian. Dalam tempo segitu panjang, masyarakat hampir melupakan bahwa pria ini sedang mengupayakan “jalan pulang”.
Apa yang terjadi dalam kurun itu? Tidak ada transparansi proses. Tidak ada pengumuman sidang terbuka. Bahkan situs resmi MA hanya menampilkan satu kalimat: “PK dikabulkan, pidana diringankan.”
Lalu, di mana ruang partisipasi publik? Di mana debat keadilan prosedural?
Menghitung Beban & Potongan: Dari Tiang Listrik ke Lapas Sukamiskin
Hukuman baru Setya Novanto meliputi:
Penjara: 12,5 tahun
Denda: Rp 500 juta (subsider 6 bulan kurungan)
Uang Pengganti: USD 7,3 juta (sekitar Rp115 miliar), dengan sisa kewajiban Rp 49 miliar jika belum dibayar
Pidana Tambahan: pencabutan hak politik selama 2,5 tahun
Dengan remisi rutin dan mekanisme bebas bersyarat, diperkirakan ia bisa keluar dari penjara pada 2029, atau bahkan lebih cepat.
Ini artinya, dalam 4 tahun ke depan, mantan Ketua Golkar itu bisa bebas melenggang—dengan status hukum yang ‘sudah lunas’.
Efek Jera yang Dipertanyakan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. “Hukuman koruptor seharusnya memberi efek jera,” kata juru bicara KPK. Mereka khawatir putusan seperti ini menjadi preseden buruk: membuka celah agar para koruptor lain ikut menempuh PK demi pemotongan hukuman.
Pendapat serupa dilontarkan Transparency International Indonesia. Bagi mereka, PK kini lebih mirip jalan diskon, bukan koreksi hukum. Di negara dengan indeks persepsi korupsi yang stagnan, pengurangan hukuman justru berisiko menguatkan impunitas.
Demokrasi dan Korupsi: Dua Jalan yang Tak Pernah Seiring?
Putusan ini memperlihatkan kontradiksi mendalam antara upaya pemberantasan korupsi dan praktik sistem peradilan di level tinggi. Korupsi adalah kejahatan politik yang menghancurkan kepercayaan publik. Ketika para elit terbukti bersalah dan tetap bisa mendapat “keringanan”, apa yang tersisa dari makna keadilan?
Lebih dari sekadar hukuman individual, ini menyangkut nilai simbolik dan pendidikan publik. Apakah kejahatan kerah putih masih dipandang ‘ringan’? Apakah elit masih bisa mengakses “pintu belakang” keadilan, ketika rakyat biasa dihukum berat bahkan untuk mencuri sandal?
Refleksi: Yang Tak Pernah Hilang dari Memori Publik
Setya Novanto bukan hanya kasus hukum. Ia adalah simbol: dari politik transaksional, budaya tipu-tipu, hingga komedi gelap sistem keadilan kita. Maka tak heran jika publik begitu murka saat tahu, hukum bisa melunak padanya.
Kini, bola panas berada di tangan publik, media, dan lembaga sipil. Apakah kita hanya akan mencatat ini sebagai berita satu-dua hari? Atau menjadikannya momentum mendesak reformasi peradilan dan evaluasi terhadap penggunaan PK sebagai alat lobi?
Sebagaimana pepatah hukum Latin: Fiat justitia ruat caelum — Keadilan harus ditegakkan, walaupun langit runtuh. Tapi sayangnya, di Indonesia, langit belum runtuh. Yang runtuh, justru harapan akan keadilan yang tegak lurus.