
Di ruang-ruang sunyi pedesaan maupun dalam riuhnya scroll media sosial, pernikahan dini menjadi praktik yang semakin tak asing. Tapi ketika statistik menjelma menjadi kenyataan pahit di ruang bersalin, di meja sidang perceraian, dan di kursi sekolah yang ditinggalkan, kita tak bisa lagi bungkam.
Data Badan Pusat Statistik (2024) menyatakan bahwa 8,16% perempuan menikah di usia 10-15 tahun dan 25,08% di usia 16-18 tahun. Artinya, lebih dari 1 dari 3 perempuan Indonesia menikah sebelum usia 19. Ini bukan sekadar angka—ini adalah potret anak-anak yang dirampas haknya untuk tumbuh.
Ironisnya, ini semua terjadi di tengah kemajuan zaman. Alih-alih mendapatkan perlindungan lebih baik, anak-anak malah terjebak dalam narasi palsu di TikTok dan Instagram. Sebuah studi oleh Wulandari & Fitria (2023) dalam Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Publik, menemukan bahwa penggunaan media sosial berkorelasi signifikan dengan keputusan menikah dini, dengan nilai p-value 0,007. Artinya? Ini bukan kebetulan. Ini epidemi yang difasilitasi algoritma.
Lalu apa akibatnya? Kita bicara tentang gelombang perceraian muda. Kementerian Agama mencatat, 80% perceraian di Indonesia terjadi pada pasangan dengan usia pernikahan di bawah lima tahun (Kemenag, 2024). Ini adalah ledakan sosial yang muncul dari fondasi rumah tangga yang dibangun tanpa kesiapan mental, emosional, apalagi finansial.
Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, pernikahan dini adalah pintu masuk menuju krisis multidimensi. Anak perempuan yang menikah di usia <18 tahun, berisiko empat kali lipat mengalami kehamilan berisiko, komplikasi persalinan, bahkan kematian. Anak yang dilahirkan? Lebih rentan stunting, lebih mungkin putus sekolah, dan mewarisi siklus kemiskinan yang tak putus (BKKBN, 2023).
Namun apa respons kita? Sebagian masyarakat masih berlindung di balik tameng budaya, agama, atau “takut zina.” Padahal, perlindungan anak adalah amanat konstitusi dan hak asasi. UU No. 16 Tahun 2019 memang sudah menaikkan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun, tapi dispensasi nikah tetap menjadi celah gelap. Di tahun 2023, lebih dari 60 ribu dispensasi dikabulkan oleh pengadilan agama.
Apakah kita hanya akan menonton?
Sudah saatnya negara turun tangan dengan tegas. Dispensasi harus dikaji ulang secara ketat, dan pendekatan promotif-preventif harus diutamakan. Pendidikan seksual dan reproduksi harus menjadi bagian wajib dalam kurikulum. Dan yang terpenting: anak-anak harus tahu bahwa masa depan mereka tak ditentukan oleh likes dan views.
Ini bukan isu sosial semata. Ini isu kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan moral bangsa. Setiap anak yang dinikahkan sebelum waktunya adalah kegagalan sistem. Dan kita semua bertanggung jawab.
Karena yang kita hadapi bukan sekadar budaya. Tapi budaya yang membunuh masa depan.