
Setiap Iduladha, timeline media sosial berubah jadi semacam katalog daging: foto sapi, kambing, potongan iga, sampai panci berisi gulai. Tapi tahun ini, ada satu hal lain yang ikut “viral”—fenomena jual beli daging kurban. Di beberapa grup Facebook dan WA warga, ada yang pasang harga daging kurban: Rp80 ribu sekilo. Ada juga yang jual kupon daging seharga Rp15 ribu. Lalu muncullah komentar dari netizen budiman: “Lho, kok dijual sih? Nggak tahu diri banget!”
Sabar. Mari kita hirup aroma rendang ini pelan-pelan.
Bagi sebagian dari kita, daging kurban adalah bentuk kebaikan yang dikemas dalam ibadah. Tapi bagi sebagian lainnya—mereka yang hidupnya pas-pasan—daging bukan kebutuhan utama. Daging itu mewah. Daging itu bisa dijual, lalu uangnya dipakai buat beli beras, gas, atau susu anak. Ini bukan soal kurang bersyukur. Ini soal bertahan hidup.
Coba kita ganti posisi. Bayangkan kamu ibu dua anak, suami serabutan, dan di hari lebaran hanya punya Rp10 ribu di dompet. Lalu kamu dapat satu bungkus daging kurban. Pilihannya: kamu masak daging itu, atau kamu jual dan beli beras plus minyak untuk dua hari ke depan. Kamu pilih yang mana?
Jual daging kurban bukan berarti orang-orang itu nggak tahu nilai ibadah. Justru karena mereka tahu hidup itu lebih dari sekadar simbolik, mereka memilih hal yang lebih nyata: nasi buat anak-anak.
Lucunya, yang paling sering marah biasanya bukan yang nyumbang hewan kurban. Tapi netizen yang baru ikut kurban dua kali, atau bahkan belum pernah, tapi merasa paling sah untuk menghakimi. Maaf, tapi kadang yang bising justru yang paling jauh dari kenyataan di lapangan.
Lagipula, dari sisi hukum agama, daging kurban yang sudah diberikan kepada penerima ya jadi hak mereka sepenuhnya. Mereka bebas mau makan, bagi-bagi, atau jual. Yang jadi masalah itu kalau panitia masjid yang jual—nah, itu baru patut dipertanyakan. Tapi kalau si penerima yang jual? Itu urusan dapur mereka, bukan etika kita.
Kurban itu soal keikhlasan. Kalau kamu masih ngarep dagingnya harus dimasak, diunggah ke Instagram, lalu dikasih caption “Terima kasih panitia kurban”, ya berarti kamu belum ikhlas-ikhlas amat. Dan kalau kamu lebih sibuk ngurusin kenapa orang jual daging daripada mikirin kenapa masih banyak orang nggak bisa beli beras, kamu mungkin salah paham tentang makna kurban itu sendiri.
Kurban itu bukan cuma soal menyembelih sapi. Tapi juga ego.