Surabaya, 17 Juni 2025 — Anggota Komisi A DPRD Jawa Timur, Ubaidillah Umar Sholeh, mendengar dan merespons data mengkhawatirkan di lapas-lapas provinsi: diperkirakan 85 persen penghuni lembaga pemasyarakatan Jawa Timur bermasalah akibat narkoba. Data tersebut mengutip laporan internal lembaga pemasyarakatan, menjadi salah satu alasan kenapa perang melawan narkoba harus diperluas jangkauannya — tidak hanya ke Polda dan BNN, tetapi juga ke keluarga, sekolah, hingga lingkungan terkecil seperti RT/RW.
Dalam podcast publik “Titik Kreasi” bersama Gagas Gayuh Aji, Ubaidillah mengatakan:
“Kalau 85 persen penghuni lapas adalah kasus narkoba, lalu generasi kita mau ke mana? Jangan sampai Indonesia Emas 2045 tinggal janji belaka.”
Menurutnya, peringatan ini bukan retorika kosong. Ia memandang bahwa BNN dan polisi telah melakukan upaya luar biasa, mulai dari razia hingga rehabilitasi. DPRD pun secara konsisten mendorong kolaborasi lintas sektor—dari hukum, edukasi, ekonomi, hingga sosial—untuk memperkuat fondasi pentahelix. Namun menurut Ubaidillah, ada satu kelemahan struktural yang harus segera ditangkap: Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai eksekutor utama belum menunjukkan pergerakan yang setara.
Ia menegaskan perlunya tiga hal:
- Pendidikan sejak dini, dimulai dari tingkatan paling dasar—orang tua, RT/RW, sekolah, pondok pesantren—agar anak memiliki daya tahan terhadap godaan narkoba.
- Sinergi pentahelix: keterlibatan akademisi untuk riset preventif, media untuk kampanye publik, dunia usaha untuk menyediakan ruang ekonomi sehat, dan masyarakat sipil untuk pengawasan lingkungan.
- Pemprov Jatim sebagai motor eksekusi, yang merumuskan dan menjalankan kebijakan nyata dari hulu ke hilir — mulai dari regulasi, pelatihan, sosialisasi, hingga evaluasi berbasis indikator.
Menurut singgungannya, polisi dan BNN sudah menjalankan fungsinya—dengan ribuan kasus berhasil ditangani, penyitaan narkotika mencapai puluhan kilogram, dan proses hukum serta rehabilitasi yang aktif dilaksanakan. Namun saat ini perlawanan terbesar adalah melakukan langkah preventif dan membangun ketahanan komunitas, sebelum orang jatuh ke jerat hukum.
“Jika kita hanya bertindak setelah mereka terbelit kasus, itu sudah terlambat. Generasi emas 2045 tak bisa ditunggu terus seperti ini. Provinsi harus gerak. DPR dan lembaga lain hadir sudah baik—namun eksekusi butuh gubernur dan dinas,” ujarnya dengan nada tegas.
Kini, tantangannya jelas: mengubah struktur pentahelix dari slogan menjadi aksi nyata di tingkat daerah. Kalau tidak, edukasi di sekolah hanya akan menjadi materi belaka, bukan tameng, dan Indonesia Emas bisa tetap menjadi mimpi yang tak sampai dijangkau.