
Sejak dulu ada, satu pola yang tidak pernah berubah: kalau iklan obat sakit kepala, yang kelihatan pegang pelipis dan mengerang itu pasti laki-laki. Lengkap dengan dasi miring, kemeja setengah keluar, dan ekspresi seperti habis mikirin angsuran KPR.
Saya tidak sedang bercanda. Coba perhatikan: mayoritas iklan obat sakit kepala menggambarkan pria kantoran yang duduk di depan laptop, mukanya meringis, lalu seketika cerah ceria setelah menenggak dua kaplet obat. Seolah-olah beban pikiran hanya milik kaum Adam. Seolah-olah yang bisa pusing itu cuma bos marketing, bukan ibu-ibu yang mikirin susu anak dan tagihan air yang loncat kayak pelompat galah.
Padahal, dalam kehidupan nyata, yang seringkali sakit kepala justru perempuan. Dan ini bukan asumsi subjektif. Menurut data dari WHO dan American Migraine Foundation, wanita lebih sering mengalami sakit kepala migrain hingga tiga kali lipat lebih tinggi dibanding pria. Tapi kenapa yang sering muncul di iklan malah mas-mas kantoran yang overworked?
Karena Dunia Iklan Masih Patriarkis
Iklan obat sakit kepala, seperti banyak produk lain, tidak lahir dari ruang hampa. Ia dibentuk oleh konstruksi sosial yang lama mengakar: laki-laki itu logis, kerja keras, beban kepala penuh strategi. Sementara perempuan? Paling-paling dikasih iklan pembalut, sabun mandi, atau lotion pemutih yang katanya bisa “mencerahkan masa depan.”
Masalahnya, sakit kepala bukan monopoli profesi atau jenis kelamin. Pusing itu demokratis. Semua bisa kena. Bahkan lebih sering perempuanlah yang harus jadi operator rumah tangga, HRD keluarga, customer service, sekaligus bagian purchasing.
Tapi semua itu tidak cukup keren untuk dijadikan bintang iklan. Padahal, saya curiga, yang lebih sering nyari Panadol di dompet justru emak-emak di dapur, bukan bos besar di ruang meeting.
Overthinking Bukan Hanya Milik Laki-laki
Coba jujur: siapa yang lebih sering overthinking dalam hubungan? Siapa yang tiap malam mikir, “Kenapa dia ngilang padahal tadi masih chat jam 7:49?” atau, “Apa dia memang ghosting atau cuma kehabisan kuota?”
Spoiler: Kami, para perempuan.
Tapi kami tidak pernah diberi representasi itu di iklan. Nggak ada iklan yang menggambarkan perempuan pusing karena ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, terus minum obat sakit kepala sambil nonton drama Korea.
Kenapa? Karena iklan selalu ingin menggambarkan “pusing yang valid”, yaitu pusing karena kerja. Dan kerja—menurut dunia periklanan—itu maskulin.
Saatnya Ganti Naskah Iklan
Bayangkan sebuah iklan: ada cewek 20-an, rebahan, matanya merah karena lihat layar laptop 12 jam non-stop demi revisi desain dari klien yang tidak tahu apa itu file .zip. Tangannya pegang pelipis, terus voice over masuk:
> “Pusing karena revisi gak ada ujungnya? Jangan lupa, Panas-Tam siap nenangin kepala.”
Nah, itu baru iklan yang relate.
Atau ada ibu rumah tangga yang lagi masak sambil ditanyai PR Matematika, tiba-tiba gas habis, dan ayam belum mateng. Pusingnya bukan main. Itu juga valid. Dan sangat visual.
Penutup: Dunia Boleh Maskulin, Tapi Pusing Kami Lebih Serius
Mungkin iklan-iklan itu dibuat dengan niat baik. Tapi terlalu sering, yang dianggap penting cuma pusing versi laki-laki. Padahal di luar sana, banyak perempuan yang bahkan tidak sempat sadar kalau dia sedang sakit kepala, karena harus kuat demi semua orang.
Maka lain kali kalau Anda lihat iklan obat sakit kepala, dan yang muncul cuma bapak-bapak, ingatlah bahwa yang lebih sering cari obat di tas adalah perempuan. Yang lebih sering tahan sakit demi bisa tetap jalan juga perempuan.
Dan kalau semua itu tak cukup untuk dapat tempat di iklan, ya mungkin sudah saatnya dunia periklanan minum obat—supaya bisa mikir jernih.