
Dari sekian banyak tokoh dalam semesta keimanan, Iblis adalah yang paling konsisten dalam pemberontakan. Dia cuma membangkang sekali. Tapi sekali itu pamungkas: menolak sujud pada Adam. Alasan klasiknya? “Saya dari api, dia dari tanah.” Classic case of overproud species.
Tuhan murka. Langsung dikutuk, dipecat dari langit, tanpa opsi SP1 atau mediasi dengan malaikat HRD. “Keluar kamu dari surga, karena kamu sombong.” Begitu kira-kira redaksinya.
Tapi yang ajaib bukan itu. Yang ajaib adalah manusia. Kita ini spesies paling bandel di semesta. Diberi akal, tapi hobi khilaf. Sudah tahu bohong itu dosa, tetap bohong. Sudah tahu zina itu berat, tetap nyolong kesempatan. Sudah tahu rezeki halal itu mulia, tetap ngelamar jadi buzzer politik. Tapi herannya, setiap kali kita balik—Tuhan masih bukain pintu. Disambut. Dimaafkan. Diterima. Seolah-olah kesalahan kita kemarin ditiup angin dan lenyap begitu saja.
Padahal kalau logika dunia dipakai, manusia ini sudah kena blacklist. Berkali-kali ditipu ya sudah, tinggalin. Di-block. Di-report. Tapi Tuhan? Nggak. Dia kayak orang tua yang tetap masakin sarapan meski anaknya bolos sekolah tiga hari berturut-turut.
Iblis membangkang satu kali: selesai. Kita membangkang berkali-kali: tetap ditunggu. Bahkan dikejar. Bahkan diampuni.
Apa bedanya?
Bedanya: Iblis nggak nyesel. Dia sombong, merasa benar, dan menolak untuk pulang. Kita? Kadang memang bandel, tapi kita masih tahu malu. Kita masih bisa nunduk dan bilang: “Maaf ya Tuhan, aku bego.”
Dan, ya, itu cukup. Tuhan tidak minta kita suci. Dia cuma pengin kita sadar.
Saya kadang berpikir, Tuhan ini bukan sekadar Maha Pengampun. Tapi juga Maha Konsisten mencintai. Meskipun kita, manusia, adalah paket lengkap dari kebodohan, kebiasaan nunda taubat, dan gampang tergoda diskonan dosa.
Tapi tetap saja, Dia menunggu kita pulang. Seperti ibu yang masih nyiapin nasi hangat, meski anaknya belum juga pulang dari hidup yang kacau ini.
Kalau begitu, kita tinggal nanya satu hal ke diri sendiri:
Apa iya mau terus bersikap lebih buruk dari Iblis?