
Eskalasi serangan Israel ke Iran, kembalinya Trump, diamnya Xi, sinyal rudal dari Rusia, dan tekanan atas fatwa nuklir Khamenei—membentuk titik genting sejarah senjata pemusnah massal.
—
Pada pertengahan Juni 2025, Israel melakukan serangan udara paling agresif dalam dua dekade terakhir ke fasilitas nuklir Iran. Netanyahu berdiri di podium Tel Aviv, dengan nada tegas: “Kami tidak akan biarkan Iran punya bom.” Pernyataan itu tidak baru. Tapi kali ini, serangannya lebih dalam: Natanz, Isfahan, hingga sasaran dalam tanah.
Aksi ini menyulut ketegangan regional. Iran membalas dengan rudal jarak menengah ke Tel Aviv dan Haifa. Amerika Serikat, melalui Presiden Donald Trump yang kembali berkuasa, menyatakan dukungan “hak untuk membela diri” Israel. Rusia memperingatkan risiko “perang besar”. Cina menyerukan de-eskalasi. Dunia memasuki fase baru: persimpangan nuklir.
Pertanyaannya sederhana: siapa yang berhak memiliki senjata nuklir? Tapi jawaban dan konsekuensinya tidak pernah sederhana—terutama saat lima tokoh utama dunia memegang kendali: Benjamin Netanyahu, Donald Trump, Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Ayatollah Ali Khamenei.
—
Benjamin Netanyahu: Serangan atas Nama Keamanan Nasional
Netanyahu telah membentuk wacana bahwa Iran bukan hanya musuh regional, melainkan ancaman eksistensial. Meski Israel tidak pernah mengakui secara resmi, laporan-laporan dari Bulletin of Atomic Scientists dan SIPRI menyebut Israel memiliki antara 90 hingga 400 hulu ledak nuklir.
Namun, dalam kerangka keamanan ala Netanyahu, hanya Israel yang boleh punya hak deterensi itu. Iran, meskipun belum memiliki senjata, dianggap terlalu dekat. Maka, sejak 2020-an, Netanyahu membentuk kebijakan “pre-emptive legitimacy”—bahwa menyerang sebelum musuh menjadi kuat adalah bentuk pertahanan.
Logika ini, sayangnya, bekerja dalam ruang tertutup, tanpa mekanisme internasional yang transparan.
—
Donald Trump: Ambivalensi dan Bunker Buster
Trump kembali ke Gedung Putih membawa retorika yang tidak berubah: keras terhadap Iran, sinis terhadap intelijen, dan impulsif dalam kebijakan luar negeri. Dalam beberapa bulan terakhir, Trump menyatakan bahwa Iran bisa punya bom “dalam hitungan minggu”, meragukan penilaian lembaga intelijen AS sendiri, dan mendorong opsi militer terbuka jika “keamanan Israel terganggu”.
Ia mendorong percepatan izin proyek energi nuklir sipil dalam negeri—tapi di panggung global, tetap menjadikan nuklir sebagai alat negosiasi keras: antara deal dan serangan udara.
Masalahnya, pendekatan maksimalis ini kerap mengaburkan perbedaan antara pencegahan dan provokasi.
—
Xi Jinping: Strategi Senyap di Panggung Global
Xi Jinping sejauh ini mengambil posisi “diam yang aktif”. Cina adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan negara dengan program nuklir sipil paling agresif. Meski tidak banyak bicara soal Israel dan Iran, Beijing memperkuat pengaruhnya lewat diplomasi kawasan: menyokong dialog, mengkritik intervensi militer sepihak, dan memperluas aliansi energi dengan negara-negara Teluk.
Namun, keberadaan Cina dalam krisis ini bukan netral. Beijing berkepentingan menjaga kestabilan harga minyak dan menahan hegemoni militer AS di kawasan. Posisi “jembatan damai” yang diambil Xi bukan karena idealisme, tapi karena strategi.
—
Vladimir Putin: Deterensi dalam Praktik
Dengan lebih dari 5.000 hulu ledak nuklir aktif dan non-aktif, Rusia di bawah Putin tetap menjadi kekuatan nuklir terbesar di dunia. Sejak Perang Ukraina, Putin lebih terbuka dalam menggunakan narasi senjata nuklir sebagai alat politik.
Dalam konteks Timur Tengah, Rusia bukan hanya penonton. Moskwa punya aliansi taktis dengan Teheran, basis militer di Suriah, dan kepentingan dalam menjaga jalur minyak dari Teluk.
Putin tahu, dalam konstelasi dunia yang rapuh, senjata nuklir bukan sekadar alat terakhir. Ia adalah kartu negosiasi utama—dan sering kali, kartu ancaman.
—
Ali Khamenei: Antara Fatwa dan Tekanan
Iran hingga kini belum memiliki senjata nuklir. Bahkan, Khamenei sejak awal 2000-an mengeluarkan fatwa yang menyatakan pengembangan bom nuklir bertentangan dengan Islam. Namun, serangan Israel dan tekanan dari Garda Revolusi Iran (IRGC) mulai memunculkan wacana ulang. “Jika tidak melindungi rakyat, apa guna prinsip?” demikian salah satu pernyataan tak resmi dari lingkaran IRGC.
Proyek seperti Kavir Plan—yang diduga menjadi cikal bakal kemampuan senjata nuklir Iran—sudah menjadi sorotan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Dunia kini menunggu: apakah Iran akan tetap bertahan di jalur non-senjata, atau berbalik arah.
—
Titik Genting: Siapa Mengatur Siapa?
Dunia menghadapi situasi di mana keputusan nuklir tidak lagi berada di tangan badan multilateral, melainkan di tangan lima kepala negara yang masing-masing punya agenda domestik dan persepsi ancaman yang berbeda.
Lima orang, lima negara, dan satu planet yang tidak punya mekanisme veto atas keputusan mereka. Tidak ada referendum global, tidak ada suara publik internasional. Yang ada hanyalah kalkulasi kuasa, ketakutan, dan rasa saling curiga.
Dan seperti biasa, yang akan jadi korban pertama bukanlah mereka, tapi kota-kota di bawah.
—
Penutup: Ketika Kewarasan adalah Satu-satunya Pelindung
Dalam teori nuklir klasik, konsep mutually assured destruction (MAD) dijadikan benteng rasional. Tapi itu mengandaikan bahwa semua pemimpin bertindak rasional. Bagaimana jika satu saja tidak?
Sejarah nuklir tidak dimulai dengan kehancuran, tapi bisa berakhir dengannya. Dan sekarang, nasib dunia kembali dipertaruhkan—bukan pada teknologi atau senjata, tapi pada ego, trauma sejarah, dan keputusan lima pria yang tidak pernah kita pilih, tapi menentukan hidup kita semua.