
Jakarta, Kamis (5 Juni 2025) malam, Gelora Bung Karno sudah berubah menjadi lautan merah-merah putih. Ribuan suporter yang sejak sore memadati Pintu 5 GBK membawa sorakan dan bendera, menanti dengan sabar dimulainya laga kualifikasi Piala Dunia 2026 kontra China . Begitu tribun di dalam stadion terasa penuh — sebanyak 69.661 orang resmi tercatat hadir — selimut kegembiraan berubah jadi bisik-bisik kekhawatiran: “Sebenarnya kita butuh tiga poin malam ini,” bisik seorang pedagang minuman, sambil menatap lekat lapangan yang semakin mendung.
Kickoff berlangsung pada pukul 20.45 WIB, dan sejak peluit pertama, tempo laga terasa lamban. Indonesia, yang menghuni posisi keempat Grup C dengan koleksi 9 poin, masih menempel ketat China yang hanya terpaut tiga angka di zona degradasi kualifikasi . Saat menit-menit awal, lini tengah Garuda berupaya membuka ruang dengan umpan-umpan pendek, tetapi kreativitas nyaris tak pernah tercipta—laksana lukisan indah yang dicetak di atas kertas minyak murah: sayang keindahannya cuma di permukaan.
Sebelum jeda turun minum, ketegangan mencapai puncak. Tepat menit ke-45, ketika wasit berkali-kali meninjau papan monitor VAR, bek China, Yang Zexiang, menekel keras Ricky Kambuaya di kotak penalti. Bagi Yang, momen itu seperti menabur garam di luka: hukuman penalti diberikan, dan Ole Romeny, 24 tahun, melangkah tenang—seolah menenteng mie instan ke panci kosong yang tak kunjung panas. Sepakannya tak mampu dihalau Wang Dalei, kiper andalan China, membuat kedudukan berubah menjadi 1-0 untuk keunggulan tuan rumah sebelum jeda .
Di babak kedua, China berusaha melakukan serangan balasan, tetapi upaya memecah kebuntuan nyaris tak pernah membahayakan. Sepanjang 45 menit pertama, hanya ada empat kali China melepas tembakan—semua berhasil dipatahkan oleh barisan belakang Garuda yang lebih tertata . Sementara Indonesia, meski menjaga keunggulan, juga tak punya cukup keberanian untuk menambah angka: peluang terbaik lewat Kevin Diks di menit ke-79 malah berbalik hanya jadi catatan nasib sial, bukan gol.
Kemenangan tipis 1-0 itu membuat Indonesia melonjak ke peringkat ketiga Grup C dengan 12 poin, menyalip Saudi Arabia yang kini tertinggal satu angka . Sebaliknya, China semakin terpuruk di dasar klasemen—empat kekalahan beruntun mengubur harapan mereka untuk melaju . Namun, sorak sorai suporter seolah menutupi fakta pahit: raihan tiga angka malam ini lebih menyerupai lipstik di muka babi—membuat sedikit lebih cantik di permukaan, sementara isinya masih sama, mandul kreativitas.
Di lapangan, Patrick Kluivert yang berada di pinggir garis tampak gelisah. Ia tahu, satu kemenangan kecil tak menjamin jalan mulus ke putaran berikutnya. Dalam konferensi pers usai laga, ia pun mengakui, “Tampil bagus sih, tapi kita belum menemukan resep serangan yang konsisten. Satu gol ini bagus untuk semangat, tapi bukan jaminan kita datang jauh ke Qatar.” Ungkapan itu mengena: faktanya, meski meraih poin penuh, tantangan terberat masih menanti—melawan Bahrain pada matchday penutup, sambil berharap rival lain tak mengamankan angka penuh .
Ketika lampu stadion meredup dan kerumunan perlahan bubar, ada rasa puas yang diselimuti kegalauan. Warga Jakarta mungkin pulang dengan hati sedikit riang karena kemenangan, tapi persoalan yang sebenarnya—kreativitas di lapangan, koordinasi taktis, hingga ketepatan pelatih mengambil keputusan—masih jadi PR besar. Malam itu, Indonesia memang menang 1-0, tetapi—seperti bakso tanpa kuah yang dihidangkan di tengah hajat kuliner—rasanya hambar kalau tak segera dibenahi menyeluruh.