
Kalau kamu pernah merasa jadi anak paling jenius di rumah karena bisa main ludo tanpa curang, ketemu Shafira Devi Herfesa bisa bikin minder. Bocah asal Condongcatur, Sleman, ini udah digembleng main catur sejak umur tiga tahun. Tiga tahun, men. Umur yang lain anak masih bingung bedain warna, dia udah mikir gimana caranya jebak kuda pakai pion.
Ayahnya, mantan pecatur DIY era 2000-an, jadi pelatih pertama. Mainnya serius. Sampai di usia remaja, ia udah bisa bikin lawan-lawan yang rambutnya penuh uban gelisah tiap dia gerakin benteng.
—
Nggak Modal Nama, Tapi Modal Langkah
Shafira bukan anak dari klub elit. Dia bukan atlet unggulan yang dibesarkan di pelatnas sejak lahir. Tapi dia rajin, sabar, dan—kata komentator catur di YouTube—”mainnya tenang tapi menusuk.”
Di usia 17 tahun, dia udah bikin kejutan di Asian Zonal 3.3 di Mongolia. Bukan hanya menang, tapi jadi juara—ngalahin pecatur-pecatur bergelar WGM dan WIM. Yang paling bikin netizen nyengir adalah kemenangannya atas WGM Turmunkh Munkhzul—pecatur tuan rumah—dengan gaya Ruy López Morphy Defense, langkah yang biasanya dipakai master kelas berat.
Itu seperti anak SMA ngalahin profesor matematika di kelas kalkulus. Nggak masuk akal, tapi nyata.
—
Dapat Tiket ke Piala Dunia, Dapat Gelar WIM
Kemenangan itu bukan cuma prestasi, tapi tiket. Ia lolos ke FIDE Women’s World Cup 2025, turnamen paling bergengsi buat pecatur dunia. Otomatis, FIDE juga memberi gelar Woman International Master (WIM)—selevel dengan sabuk hitam buat pecatur wanita.
Jalur kariernya tiba-tiba melesat. Dulu cuma juara Porda DIY, lalu PON Aceh-Sumut. Sekarang? Batumi atau Tbilisi menanti. Dan jangan salah, ini bukan pencapaian kaleng-kaleng. Sebelum dia, cuma sedikit pecatur Indonesia yang bisa masuk World Cup: Medina Warda Aulia, Irene Kharisma Sukandar, dan GM Susanto Megaranto. Itu pun harus nunggu lama dan ranking tinggi.
Shafira? Umurnya belum genap 18, rating FIDE barunya masih 2100-an. Tapi mental? Udah kayak petarung veteran.
—
Rasanya Seperti… Indonesia Raya di Ulaanbaatar
Waktu dia menang dan lagu “Indonesia Raya” diputar di Mongolia, jujur aja: merinding. Di negeri yang lebih dikenal dengan padang rumput dan Genghis Khan, Shafira bikin sejarah. Wakil Indonesia yang menang tanpa gelar sebelumnya, tanpa banyak ekspektasi, tapi pulang bawa gelar dan kebanggaan.
Ini bukan dongeng. Ini catur. Dan dalam dunia catur, tiap langkah punya konsekuensi. Dan Shafira, dengan pelan tapi pasti, menyusun langkahnya—hingga kini berdiri di panggung dunia.
—
Penutup: Bidak Tak Pernah Berkhianat
Kalau kamu hari ini lagi putus asa, lagi ngerasa kecil, ingat Shafira. Pecatur dari dusun, bukan dari kota besar. Dilatih ayahnya sendiri, bukan pelatih luar negeri. Dulu cuma main di turnamen lokal, sekarang siap adu otak di panggung global.
Catur mengajarkan bahwa kemenangan datang bukan dari langkah gegabah, tapi dari strategi, ketekunan, dan kesabaran.
Jadi, kalau hidupmu lagi kayak pion diapit kuda dan menteri, ingat: bahkan pion pun bisa promosi jadi ratu. Asal sabar. Asal terus jalan.
Dari Sleman, untuk dunia. Shafira Devi Herfesa bukan sekadar pemain catur. Dia adalah bukti bahwa diam-diam, langkah kecil bisa mengguncang dunia.
–