
Di Allianz Arena, malam Minggu berubah jadi saksi keabadian: Cristiano Ronaldo, di usia yang tak lagi muda, berdiri tegak sebagai penentu. Portugal menekuk Spanyol melalui adu penalti dengan skor akhir 5–3, setelah laga sengit berakhir imbang 2–2 di waktu normal. Bukan hanya gelar yang mereka bawa pulang—ini adalah pengingat, bahwa warisan tidak serta-merta diberikan, tapi dituntaskan dengan keringat, umur, dan kepala dingin.
Spanyol sempat unggul lewat gol Martin Zubimendi dan Mikel Oyarzabal, mengendalikan permainan dengan gaya tiki-taka yang matang, tetapi tak pernah benar-benar membuat Portugal menyerah. Nuno Mendes membuka celah dengan penyelesaian dingin sebelum Ronaldo menyamakan kedudukan dan menyeret laga ke fase yang paling menyita nyali—adu penalti. Di sana, tak ada tempat untuk talenta muda atau gaya flamboyan. Hanya ketenangan dan presisi. Dan Portugal lebih siap.
Yang menjadi sorotan bukan cuma trofi kedua Portugal di ajang UEFA Nations League, melainkan juga kontras dua nama: Cristiano Ronaldo dan Lamine Yamal. Sang legenda berusia 40 tahun tampil sebagai poros kemenangan. Sementara sang anak ajaib, bintang muda Spanyol yang digadang-gadang sebagai penerus Messi, tak mampu menembus disiplin pertahanan Portugal. Sepanjang laga, Yamal terus ditekan, dijaga ketat oleh Nuno Mendes yang tampil luar biasa, membuat si bocah 17 tahun itu kehilangan ruang untuk menari.
Jika ini adalah pentas duel generasi, maka malam itu Ronaldo bukan sekadar menang—ia memberikan pelajaran. Yamal, dalam usia belia dan sinar harapan yang dibebankan pundaknya, harus merasakan kerasnya permainan ketika lawan tak sekadar menjaga, tapi membungkam. Dalam wawancara sebelum laga, Ronaldo sempat mengatakan, “Ini bukan tentang saya atau dia, ini tentang tim saya.” Tapi setelah peluit akhir, semua tahu, ini memang tentang Ronaldo. Lagi-lagi.
Lamine Yamal tak tampil buruk. Ia bergerak, mencoba menusuk, memberi umpan. Tapi setiap langkahnya seperti dilacak, setiap niatnya dibaca. Di hadapan kedisiplinan Portugal dan atmosfer final yang menghantam mental, sang bocah emas berubah menjadi pemuda yang belum waktunya bersinar. Bukan kalah secara keterampilan, tapi terlampau dini untuk memenangkan pertarungan sebesar ini.
Dan ketika Ruben Neves mengeksekusi penalti terakhir, membawa Portugal ke puncak podium, Ronaldo tak melonjak, tak histeris. Ia hanya tersenyum kecil, seperti lelaki yang tahu betul: ia baru saja mengakhiri satu babak panjang yang telah ia jaga dengan setia.
Untuk Lamine Yamal, ini awal. Untuk Ronaldo, mungkin ini akhir. Tapi malam itu, panggung tetap milik yang sudah kenyang asam garam. Bukan penerus, belum. Hanya penantang yang masih harus belajar.