Akhirnya, bom-bom itu jatuh juga. Amerika Serikat, dengan penuh percaya diri dan jargon “demi keamanan dunia”, menjatuhkan serangan ke situs-situs nuklir Iran: Fordow, Natanz, Isfahan. Dunia, katanya, jadi lebih aman. Tapi pasar bicara lain. Harga minyak terbang: Brent menari di US $74 hingga 85 per barel, dan setiap pengemudi kini bisa mulai menabung untuk isi penuh tangki mobilnya.
Tentu saja, rakyat biasa selalu jadi yang pertama merasakan “keamanan” ini. Bensin mahal, harga sembako merangkak, inflasi mulai tersenyum puas. Bahkan Reuters dan S&P Global sudah memberi peringatan: inflasi AS mungkin mencapai 6% di akhir tahun, dan siapa tahu berapa di tempat-tempat lain yang lebih rentan. Semua ini tentu demi menjaga perdamaian dunia, bukan?
Di tengah reruntuhan janji-janji stabilitas, emas pun kembali jadi raja. Harga emas hari ini melayang di US $3.368 sampai 3.380 per ounce. Sepanjang tahun ini sudah naik lebih dari 30%, karena jelas: apa lagi yang bisa dipercaya? Uang kertas? Dolar yang tergerus inflasi? Saham-saham yang goyang diterpa geopolitik? Tentu tidak. Emas memang tak pernah janji apa-apa, tapi setidaknya dia tak menipu.
Dan kini muncul pertanyaan: apakah emas akan pecah rekor?
Oh tentu. Kalau bom terus jatuh, kalau minyak terus melonjak, kalau inflasi terus membakar, kalau pemimpin dunia terus sibuk berpose gagah di podium sambil membiarkan rakyat menggigit jari — emas bukan sekadar pecah rekor, emas bisa jadi simbol terakhir dari apa yang tersisa dari akal sehat kita.
Jadi selamat datang di dunia baru: dunia di mana bom disebut “keberhasilan spektakuler”, dunia di mana harga minyak naik atas nama “keamanan”, dan dunia di mana hanya emas yang jujur pada nilainya. Sungguh, saatnya emas bersinar, karena semua yang lain sedang terbakar.