
Meja itu dibanting. Suara meninggi. Kata-kata meluncur, tajam, menuntut. Video singkat itu beredar luas, menyisakan pertanyaan yang tak selesai bahkan setelah detik terakhirnya berakhir.
Tentang proyek bernilai triliunan rupiah. Tentang pengusaha lokal yang meminta jatah. Tentang tenaga kerja yang belum sempat bicara. Tentang kota yang diam-diam merasa diabaikan.
Di Cilegon, cerita ini terjadi. Tapi rasanya, kota mana pun bisa menjadi latar serupa.
—
Ketika Pekerjaan Tak Kunjung Datang
Di luar ruangan rapat itu, ada banyak tangan yang menggenggam harapan. Mereka tak duduk di meja perundingan. Tak menyusun draft kontrak. Tak menandatangani kesepakatan. Tapi mereka menghitung hari, menanti pengumuman, mencari-cari nama mereka di daftar panggilan kerja yang tak pernah benar-benar muncul.
Mereka adalah warga lokal. Mereka hanya ingin bekerja. Tapi dalam proyek besar yang datang dari jauh, yang datang dengan bendera asing dan teknologi mutakhir, kadang suara mereka tenggelam bahkan sebelum sempat terdengar.
Lalu, siapa yang boleh bicara untuk mereka?
—
Suara yang Tumbuh dari Kekosongan
Organisasi pengusaha lokal menyebut diri mereka sebagai penjaga kepentingan daerah. Mereka bilang, “Kami mewakili yang tak terdengar.” Tapi suara, bila tumbuh dari kemarahan yang tak diolah, bisa berubah jadi tekanan. Bisa membentur nilai, bisa menabrak etika.
Kita tidak sedang bicara salah dan benar. Kita sedang bicara tentang sesuatu yang lebih rumit: tentang struktur yang tak pernah beres, tentang jembatan komunikasi yang retak, tentang negara yang terlalu lambat datang ketika warganya bingung ke mana harus mengadu.
Di ruang hampa inilah suara-suara keras lahir. Kadang berbentuk permintaan. Kadang berbentuk ancaman. Tapi dasarnya sama: keinginan untuk tidak lagi diabaikan.
—
Pembangunan Tanpa Keterlibatan adalah Kekosongan
Apa arti membangun jalan jika warga sekitar tidak bisa melintasinya?
Apa makna membangun pabrik jika tenaga kerja lokal hanya melintas sebagai pengantar makan siang?
Apa gunanya investasi triliunan rupiah jika martabat manusia masih tergadaikan?
Pembangunan sejati bukan hanya urusan angka, bukan hanya soal target fisik. Ia soal perasaan dilibatkan. Ia soal melihat wajah-wajah lokal ikut berdiri bangga di proyek yang ada di depan rumah mereka sendiri.
Dan keterlibatan, sayangnya, masih terlalu sering dianggap sebagai beban, bukan sebagai hak.
—
Negara Tak Boleh Sekadar Menonton
Di tengah semua ini, negara sering datang terlambat. Atau tak datang sama sekali.
Pemerintah daerah seharusnya menjadi penjaga keseimbangan: membuka akses kerja bagi warga lokal tanpa mengorbankan kualitas. Memberi ruang dialog sebelum suara berubah jadi tuntutan. Menyusun regulasi agar proyek besar tidak membuat yang kecil merasa tak berarti.
Tapi jika negara hanya jadi penonton—maka yang bicara adalah mereka yang paling keras. Bukan yang paling siap, bukan yang paling adil.
Dan di sinilah kita mulai kehilangan arah.
—
Kita Semua Punya Tanggung Jawab
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyalahkan siapa pun.
Karena menyalahkan tidak menyelesaikan.
Dan membenarkan juga tak cukup.
Tapi kita perlu berhenti sejenak. Bertanya:
Mengapa ketika proyek besar datang, justru yang kecil merasa semakin jauh?
Mengapa ketika uang masuk, martabat terasa semakin murah?
Cilegon mengingatkan kita bahwa pembangunan harusnya tentang semua orang. Tentang pengusaha yang bersaing sehat. Tentang warga yang ikut bekerja. Tentang pemerintah yang hadir. Tentang proses yang terbuka.
Dan terutama: tentang memastikan bahwa tak ada yang merasa ditinggalkan di tanah sendiri.
Karena pembangunan bukan soal gedung yang tinggi. Tapi tentang rasa dimiliki.
–