
Di antara gempa, inflasi, dan deadline skripsi yang tak kunjung selesai, kita semua kini dihadapkan pada pertanyaan yang lebih filosofis: “Apakah nuklir akan meledak nanti?”
Bukan pertanyaan ujian Fisika. Ini serius.
Karena Iran dan Israel lagi adu rudal. Dan salah satu target serangannya? Fasilitas nuklir. Bukan warung kopi. Bukan studio podcast. Tapi reaktor nuklir. Yang kalau bocor, bisa bikin tanahmu lebih panas dari gunung Semeru.
—
Iran sekarang udah punya uranium yang diperkaya 60%. Ini bukan semacam kopi 60% arabika ya. Ini berarti mereka tinggal satu ngopi lagi menuju bom nuklir. Sementara Israel, seperti biasa, gaspol dulu mikir belakangan. Beberapa hari lalu mereka bombardir fasilitas nuklir Iran. Iran nggak tinggal diam, mereka bales.
Dan kita?
Ya kita baca thread X dan bikin Instastory “Semoga perang ini segera usai 😔”.
—
PBB udah panik. IAEA udah keluarin statement. Tapi kayak biasa: cuma jadi headline. Di lapangan, yang bunyi tetap rudal, bukan rapat Dewan Keamanan. Dunia internasional kerjanya ngingetin: “Ayo jangan meledak, ya.”
Kayak guru BP yang nasehatin murid yang udah bawa bensin dan korek ke ruang kelas.
Tapi masalahnya bukan cuma bom nuklir yang meledak.
Yang lebih dulu meledak itu pikiran kita.
Anak-anak Gen Z nonton video bunker di TikTok. Netizen bikin prediksi perang dunia ketiga. Dan semua orang mulai nanya, “Kalau ledakan nuklir sampai sini, masker medis cukup nggak ya?”
—
Pertanyaannya memang bukan sekadar: “apakah nuklir akan meledak?”
Tapi: “kita ini hidup di zaman serius atau live action film bencana?”
Karena yang menakutkan bukan cuma bom, tapi absurdnya keputusan politik. Dunia kayak dikuasai cowok-cowok baperan dengan kekuatan militer dan akun X biru. Salah satunya ngerasa dihina, langsung dikirim drone.
Dan dunia? Ya jadi penonton plus korban kolateral.
—
Kita hidup di masa ketika ledakan bisa muncul dari mana aja:
dari reaktor nuklir,
dari grup WhatsApp keluarga,
atau dari isi kepala yang penuh berita buruk.
Jadi apakah nuklir akan meledak nanti?
Mungkin nggak sekarang. Tapi ketakutan kita sudah.
Mental kita meledak duluan. Kewarasan kita kebakar pelan-pelan.
Yang kita butuhin bukan bunker. Tapi pemerintah yang waras. Diplomasi yang nyata. Dan berita yang bukan clickbait tapi bikin adem.
Tapi, ya, itu semua juga… kayaknya masih butuh keajaiban.
Jadi sementara itu,
selamat ngopi.
Selama belum ada jamur raksasa di langit, masih aman. Kayaknya.