
Kalau kamu bangun tidur dan dengar kabar bensin naik, lalu kamu bilang, “Lho, kok bisa?”, maka izinkan saya menyapa dengan satu kata bijak: kamu tinggal di mana selama ini, Sob?
Harga bensin naik itu bukan berita mengejutkan, itu semacam siklus hidup. Kayak mantan yang balikan bentar, terus ghosting lagi. Ulang dan ulang. Kita sebagai rakyat sebetulnya sudah bukan cuma biasa, tapi udah expert menghafal pola. Harga naik? Biasa. Gaji tetap? Lebih biasa lagi.
—
Awal Juli kemarin, Pertamina ngumumin bahwa harga BBM non-subsidi kayak Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan kawan-kawan resmi naik. Yang murah naik Rp400, yang mahal naik sampai Rp910. Tapi anehnya, suasana adem-adem bae. Nggak ada demo mahasiswa, nggak ada emak-emak naik pagar. Seolah-olah semua orang sudah ikhlas dunia akhirat.
Mungkin karena kita tahu, percuma juga ribut-ribut. Toh, ujungnya bensin tetap harus dibeli, motor tetap harus jalan, ojol tetap harus narik, dan bapak-bapak tetap harus ke warkop buat ngopi—walau sekarang ngopinya mungkin pindah ke gelas plastik isi sachetan.
—
Saya pernah nanya ke teman yang kerja di bagian logistik: “Bro, BBM naik gini ngaruh nggak sih?”
Dia cuma jawab, “Ngaruh, tapi kita udah males ngeluh. Capek sendiri.”
Nah lho. Rasanya sudah kayak diselingkuhi berkali-kali tapi tetap bertahan karena mikir: “Ya siapa lagi yang mau sama aku?”
Begitulah kira-kira hubungan rakyat dan BBM.
—
Yang bikin makin lucu, saat BBM naik, alasan yang keluar dari pejabat selalu itu-itu juga. Harga minyak dunia naik lah, demi efisiensi lah, menyesuaikan regulasi lah. Semua alasan itu bener sih, tapi ya kayak skrip sinetron yang diputar ulang tiap Ramadan: kita tahu akhirnya, tapi tetap ditonton juga.
Padahal, yang rakyat pengen itu bukan cuma transparansi soal harga, tapi juga rasa dipedulikan. Biar pas isi bensin nggak cuma ngisi tangki, tapi juga ngisi harapan.
—
Jadi, kalau sekarang kamu tanya saya, “Bensin naik gimana?”
Saya cuma bisa bilang, “Ah, biasa aja.”
Bukan karena saya nggak peduli. Tapi karena, jujur aja, lelah ini udah bukan di badan lagi, tapi di dalam jiwa.
Dan buat kamu yang baca ini sambil nyari tahu harga Dexlite sekarang, selamat datang di negara tempat bensin naik diam-diam, tapi rakyatnya tetap kuat—meski hanya bisa menghela napas panjang sambil bilang:
“Ya mau gimana lagi…”