
Kalau Anda pernah menyenandungkan,
“aku adalah orang termiskin di dunia…”
lalu merasa “penuh derita, bermandikan air mata”,
maka Anda pernah—secara tidak langsung—bersentuhan dengan musik Hamdan ATT.
Bukan. Ini bukan sekadar lagu patah hati. Ini adalah puisi nelangsa dari seorang penyanyi yang menjadikan dangdut sebagai media curhat umat manusia. Di tangan Hamdan ATT, dangdut bukan cuma hiburan di warung kopi atau panggung hajatan. Ia adalah doa panjang, lengkap dengan air mata dan isak pelan, yang dibungkus dalam cengkok khas dan lirik jujur—jujur banget, kadang malah terlalu jujur sampai bikin kita malu sendiri.
Hamdan ATT, nama lengkapnya Hamdan Attamimi, adalah legenda yang barusan pamit dari dunia. Usianya 76 tahun. Lahir di Kepulauan Aru, Maluku, dari darah Arab dan Ambon yang kemudian mematangkan bakat musikalnya sejak muda. Berawal dari band pop pada 1964, kemudian pindah haluan ke dangdut. Dan ya, itu keputusan terbaik yang pernah ia ambil. Tanpa dia, dangdut tak akan punya napas se-senduh itu.
Karyanya yang paling populer, “Termiskin di Dunia”, bukan hanya menohok di era 1980-an, tapi juga abadi sampai sekarang. Siapa sih yang nggak pernah denger lagu itu, minimal pas naik angkot atau nunggu hujan reda di emper toko? Lagu-lagunya yang lain seperti “Berdosa”, “Nurlela”, “Petualangan Cinta”, adalah semacam side-B dari kitab kesedihan kolektif anak muda Indonesia zaman dulu—dan kadang masih relevan sampai sekarang.
Namun, Hamdan ATT bukan cuma penyanyi. Ia juga guru. Juri festival. Teladan di industri dangdut. Bahkan ketika duduk di kursi roda pada tahun 2021, ia tetap berdiri—dalam makna simbolis—untuk menerima penghargaan Lifetime Achievement di Indonesian Dangdut Awards. Tidak semua penyanyi dangdut bisa sampai di titik itu. Hamdan ATT tidak cuma bertahan, tapi bertumbuh, bahkan dalam sakit.
Beberapa tahun terakhir, kesehatannya memang naik turun. Terkena stroke lebih dari sekali. Harus operasi kepala karena pembuluh darah otaknya pecah. Ginjalnya bermasalah. Namun dalam semua itu, tak pernah sekalipun ia berhenti dikenang.
Kini, ketika kabar kepergiannya diumumkan anaknya di Instagram, banyak dari kita yang refleks menyenandungkan lagu-lagunya. Padahal kita tak mengenalnya secara pribadi. Tapi itulah kekuatan musisi sejati: ia tak perlu hadir di ruang tamu kita untuk membuat kita merasa kehilangan.
Hamdan ATT telah berpulang. Tapi ia tak benar-benar pergi. Suaranya masih berkeliaran di udara, cengkoknya masih bisa kita dengar di warung kopi pinggir jalan, dan lagunya masih bisa kita nyanyikan diam-diam waktu patah hati tengah malam.
Selamat jalan, Bang Hamdan.
Kalau nanti ada panggung dangdut di langit, kami yakin, suara abang bakal tetap jadi headline.