
Surabaya, 8 Juni 2025 – Suara dentuman keras terdengar membelah malam di kawasan Ngagel, Surabaya, Sabtu malam pukul 22.00 WIB. Sebuah Suzuki Ertiga bernomor polisi L-1748-HY tertabrak Kereta Api Turangga di perlintasan sebidang Kalibokor–Pucang. Tidak ada korban jiwa, tapi insiden ini kembali menyisakan pertanyaan lama yang tak kunjung tuntas: siapa yang bertanggung jawab di setiap detik sebelum tabrakan itu terjadi?
Liem Hong (45), sopir taksi online yang mengemudikan mobil tersebut, bersikukuh bahwa palang pintu belum tertutup saat ia memutuskan melintasi rel. “Kalau palangnya nutup separuh saja, saya pasti berhenti, Mas. Tapi ini belum nutup,” ujarnya sesaat setelah insiden. Keyakinannya tak main-main. Ia membawa tiga penumpang, dan baginya, risiko adalah hal terakhir yang ingin diambil malam itu.
Namun nasib berkata lain. Setelah bagian depan mobil berhasil melintasi rel pertama, mesin tiba-tiba mati. Panik namun sigap, Liem meminta seluruh penumpang keluar. Ia sempat mendorong mobil, bahkan dibantu oleh seorang pemotor yang melihat kegentingan situasi. Tapi dorongan itu sia-sia. Mobil tetap tidak bergerak, dan laju KA dari arah utara semakin dekat. Detik-detik berikutnya, Liem menjauh. Dan lalu—brak!—bagian belakang sisi kiri mobil ringsek dihantam lokomotif.
Di sisi lain, Satriya Medi (28), petugas jaga perlintasan yang malam itu bertugas, punya cerita yang berbeda. Ia menegaskan sudah menjalankan prosedur sesuai SOP. “Saya tidak mungkin menunda penutupan palang. Kami sudah ada jadwal tetap dari pusat. Sistem ini sudah berjalan bertahun-tahun,” tegasnya.
Konflik kesaksian ini menempatkan publik dalam dilema. Haruskah semua percaya pada pandangan mata seorang sopir yang terjebak di situasi darurat? Atau pada petugas palang yang mengklaim bekerja mengikuti sistem?
Yang pasti, ini bukan kecelakaan pertama di titik tersebut. Kalibokor–Pucang memang dikenal sebagai perlintasan rawan. Palangnya manual, tidak otomatis. Dalam situasi seperti ini, beberapa detik keterlambatan saja bisa memisahkan keselamatan dan malapetaka.
Peristiwa ini seharusnya tidak berhenti pada drama dan argumen semata. Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem perlintasan sebidang, khususnya yang masih bergantung pada pengamatan dan prosedur manual. Palang bukan sekadar batang besi, tapi simbol dari batas tipis antara hidup dan mati.
Pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang salah. Tapi: berapa kali lagi kita akan membiarkan nyawa bertaruh di rel yang sama, dengan sistem yang sama, dan penyesalan yang berulang?