
Bagaikan disambar petir di siang bolong. Begitu kiranya rasa yang melanda sebagian warga Solo ketika kabar mengejutkan ini mencuat ke publik. Ayam Goreng Widuran, sebuah nama yang sudah mendarah daging dalam sejarah kuliner kota, kini diterpa badai besar. Bukan karena rasa, melainkan karena kepercayaan.
Sejak 1973, kremesan ayam goreng dari rumah makan ini menjadi ikon. Tapi, siapa sangka, setelah setengah abad lebih, sebuah pengakuan meluruhkan kebanggaan banyak pelanggan: minyak babi digunakan untuk menggoreng menu andalan mereka. Sebuah fakta yang tak pernah diungkap sebelumnya.
Permintaan Maaf yang Terlambat
Melalui akun Instagram resmi @ayamgorengwiduransolo, pihak manajemen meminta maaf. Mereka mengakui kesalahan besar: tidak memberikan informasi transparan sejak awal. Sebagai langkah perbaikan, mereka mencantumkan label “NON-HALAL” di semua outlet dan media sosial. Tapi, apa cukup? Tidak sedikit pelanggan merasa, penyesalan ini datang terlalu terlambat.
Kecewa dan Merasa Tertipu
Reaksi masyarakat pun beragam. Bagi sebagian umat Muslim, rasa kremesan yang selama ini dianggap nikmat, kini hanya meninggalkan getir. Ulasan di media sosial berubah menjadi lautan kritik. “Kami merasa tertipu,” ungkap salah satu pelanggan lama yang setia.
Pemerintah kota pun turun tangan. Dinas Perdagangan Solo bersama Organisasi Perangkat Daerah akan mengecek langsung rumah makan ini untuk memastikan tidak ada aturan yang dilanggar. Langkah yang diambil untuk menjaga keseimbangan antara rasa hormat pada kuliner dan ketaatan pada regulasi.
Kepercayaan yang Terkikis
Solo adalah kota dengan kekayaan budaya, keberagaman rasa, dan kesetiaan pada tradisi. Tapi, kasus Ayam Goreng Widuran menjadi pengingat pahit: kepercayaan adalah pilar utama dalam bisnis, apapun bidangnya. Ketika pilar itu runtuh, tidak ada rasa yang mampu menutupinya.
Dalam dunia kuliner, rasa mungkin nomor satu. Tapi kejujuran adalah yang menentukan seberapa lama rasa itu bertahan. Karena pada akhirnya, lidah memang bisa ditipu, tapi hati, tidak.